cerpen postingan

“Kami tinggal di desa yang sama dan bertetangga dekat,” kata Larasati, gadis berwajah bening, memulai ceritanya.

Serunya Pacaran

Dari kecil kami sudah bersama-sama. Dia seorang cowok terbaik yang pernah saya kenal. Namanya Kamal. Umur Kamal yang beberapa tahun lebih tua dari saya, membuat saya merasa menemukan teman, sahabat, sekaligus kakak. Dia sangat baik.

Saya tidak tahu bagaimana perasaan saya sebenarnya pada dia. Tapi karena sudah sejak kecil bersama-sama, maka sejak SMP pun kami seperti sudah didaulat sebagai sepasang kekasih oleh keluarga kami dan semua orang yang mengenal kami.

Kisah manis kami pun berjalan dengan penuh warna. Indah dan tidak mudah dilupakan. Sepanjang hari, rasanya hanya bangun pagi dan saat menjelang tidur saja saya tidak menemukannya di sisi saya.

Sejak kecil saya dan Kamal punya karakter yang bertolak belakang. Saya aktif, ekstrovert dan tidak bisa diam. Segala macam kegiatan yang ada di sekolah dan lingkungan saya ikuti. Kamal juga aktif, tapi dia cenderung pendiam dan lebih suka di rumah. Meskipun beberapa kegiatan kami aktif di dalamnya, tapi keaktifan saya memang jauh melampaui dia. Mungkin Kamal ikut aktif karena menjaga saya.

Saat saya kuliah, saya mulai merasakan proteksi Kamal yang terlalu ketat. Kamal memaksa untuk mengantar jemput setiap hari. Padahal saya juga bisa menggunakan motor sendiri. Dan ini membuat saya terbebani. Namun daripada ribut dan saya anggap itu wujud perhatiannya, saya menerima saja.

Rasanya semua orang di kampus juga sudah tahu kalau saya pacaran dengan Kamal. Bahkan petugas parkiran kampus pun tahu kalau Kamal pacar saya. Dan karena sikapnya yang sangat protektif, saya jadi ketergantungan kepada Kamal. Kemana-mana harus diantar oleh dia. Mungkin karena benar-benar sayang dan takut kehilangan saya, Kamal selalu menuruti permintaan saya.

Tugas Ke Luar Jawa

Begitu Kamal lulus wisuda, dia langsung mendapat pekerjaan. Seleksi pegawai negerinya lolos dan dia ditempatkan di luar Jawa. Saya melepas kepergiaannya dengan diiringi janji seia sekata bahwa begitu saya lulus kuliah, dia akan melamar dan menikahi saya.

Waktu itu HP belum menjamur seperti sekarang, namun hampir setiap hari, dia selalu menelpon saya meskipun biaya telepon interlokal terbilang mahal. Saya masih mendengar canda tawanya setiap hari. Saya masih bisa mengetahui keadaannya setiap waktu. Dia tidak berubah. Saya yakin dia benar-benar mencintai saya, dan jauh di dalam hati, saya berharap bahwa dialah jodoh saya.

Saya pun tidak mengubah aktivitas saya, tetap sibuk dengan segudang kegiatan. Beberapa waktu, Kamal masih terus rajin menelpon dan memberi kabar, sampai kemudian kebiasaan itu mulai berkurang. Kadang dua atau tiga hari baru menelpon, bahkan lama kelamaan semakin menghilang.

Setiap saya menanyakan, dia mengatakan sibuk kerja ini-itu, biaya interlokal mahal, dsb. Akhirnya saya yang berusaha menghubunginya. Namun anehnya, dia juga sering tidak ada di rumah pondokannya. Saya masih bisa bersabar dan menerima karena selalu diyakinkan oleh orang-orang di sekitar saya, bahwa mungkin dia memang sibuk, apalagi dia adalah pegawai yang baru saja diangkat.

Tak Terduga

Meskipun sedikit curiga dan bingung dengan sikap Kamal, kegiatan saya tak berkurang. Saya tetap sibuk dengan aktivitas saya. Sampai saya merasa dia sudah 'hilang' dari kehidupan saya. Namun setiap hendak tidur, saya kembali teringat dan selalu bertanya kenapa dia seperti menjauh dan sulit dijangkau.

Menduga dia selingkuh atau punya pacar baru, sungguh saya tak berani. Karena saya tahu persis dia sangat protektif dan sangat mencintai saya. Akhirnya, pertanyaan saya terjawab sudah. Lelaki yang belasan tahun saya kenal sejak kecil, yang sangat menjaga dan memuja saya itu, datang ke rumah saya, untuk minta maaf ! ~ <span>Bukan untuk melamar</span> seperti yang dia janjikan dan saya impikan.

Dia minta maaf bukan karena telah menghamili anak orang atau tindakan asusila lainnya, tapi dengan jelas dia mengatakan dia telah jatuh cinta pada gadis lain dan merasa cintanya pada saya telah hilang. Jadi, dia memutuskan saya dan tidak akan menikah dengan saya.

Dunia serasa runtuh saat itu. Kalau saja bumi terbelah, ingin rasanya saya langsung tenggelam di dalamnya dan tak kembali lagi. Sakit hati, malu, terluka, tak percaya. Campur aduk rasanya di hati. Saya tidak pernah menyangka lelaki yang begitu mencintai saya, tiba-tiba bisa mengatakan tidak cinta pada saya dan jatuh cinta pada gadis lain.

Shock dan terpuruk keadaan saya saat itu, sampai berhari-hari saya tak mau makan, tak mau melakukan apapun. Saya seperti kehilangan jati diri saya. Cinta... yang selama ini rasanya indah, tiba-tiba telah menenggelamkan seluruh akal sehat saya. Saya bahkan tak tahu lagi apa arti cinta dan seperti apa bentuknya.

Belum kering luka dan perih hati ini, saya mendengar Kamal akan menikah. Hanya selang sebulan dari permintaan maafnya kepada saya dan keluarga. Rasanya saat itu semua orang menatap saya dengan pandangan aneh. Mungkin perasaan saya yang terlalu sensitif. Tapi saya tahu, saya malu, kecewa, merasa dikhianati. Dan saya tidak ingin percaya lagi pada lelaki.

Dukungan Keluarga

Untunglah, keluarga saya sepenuhnya mengerti keterpurukan saya. Mereka tidak mencela, tidak menyalahkan dan menerima semuanya dengan lapang hati. Saya tahu, bagaimana keluarga saya juga turut membantu acara pelaksanaan pernikahan Kamal, karena bagaimanapun Kamal adalah tetangga dekat kami. Dan Keluarga saya tak memaksa saya untuk membantu dan turut serta.

Beberapa hari, mereka bahkan seperti membiarkan saya larut dalam keterpurukan. Sampai kemudian, mereka sepenuhnya memberikan dukungan dan semangat pada saya. Namun alangkah beratnya ntuk melangkah dan memulai lagi.

Keluarga mengatakan, saya harus menyibukkan diri. Saya mesti ikhlas dan melupakannya. Saya mesti belajar menerima bahwa lelaki itu bukanlah yang terbaik buat saya. Masih banyak lagi nasihat bijak yang saat itu rasanya sangat menyebalkan. Mereka tidak mengerti betapa patah hati dan dikecewakan itu rasanya seperti apa. Mereka bisa berbicara seperti itu karena mereka tidak mengalami, tidak merasa dicampakkan dan tidak disakiti.

Meski saya mengabaikan nasehat-nasehat mereka, toh ada juga satu nasehat yang mampir di hati saya. Kalau saya sedih, apa gunanya? Kamal tak akan kembali. Dia sudah menikah dan mungkin sedang berbahagia dengan istrinya. Untuk apa saya memikirkan dia? Untuk apa saya membuang waktu dan energi menangisi sesuatu yang sudah pasti bukan untuk saya? Bukankah ini sia-sia belaka?

Akhirnya, saya putuskan untuk kembali seperti biasa. Hidup tidak boleh berhenti hanya karena dia meninggalkan saya. Dengan sekuat hati, saya berusaha yakin bahwa dia bukan yang terbaik buat saya. Jadilah saya memutuskan untuk bangkit dan hidup lagi.

Perjodohan-Perjodohan

Karena saya aktif di mana-mana, saya memiliki banyak kawan, baik laki-laki atau perempuan. Bahkan saking banyaknya, rasanya semua orang juga tahu kasus yang menimpa saya. Semua tahu sekarang saya jomblo.

Banyak yang bersimpati dan kadang kelewatan, tanpa melihat kondisi emosional saya, teman-teman baik itu beramai-ramai menjodohkan saya dengan siapa saja yang menurut mereka pantas untuk saya. Saya kesal, jengkel dengan ulah mereka. Tapi di sisi lain, saya juga bersyukur bahwa saya masih punya teman, punya orang-orang yang peduli pada saya. Saya akhirnya bersikap kooperatif dan terbuka. Mengenal dan menerima calon-calon yang dijodohkan dengan saya, meski tidak gampang memutuskan. Pelajaran berharga itu cukup sekali saja saya terima.

Banyak juga di antara lelaki yang dijodohkan dengan saya itu sangat baik, ikhwan yang kelihatan sangat sholeh dan kehidupannya juga mapan. Tapi sepertinya tidak ada yang cocok. Mungkin waktu itu saya sedang tidak terlalu memikirkan soal jodoh. Bisa jadi, memang belum ada yang cocok dengan hati saya, atau belum jodoh, saya tidak tahu. Intinya, dari semua perjodohan itu tidak ada yang cocok di hati saya.

Saya lebih konsentrasi ke studi saya, sampai lulus kemudian bekerja di salah satu perusahaan swasta di luar kota. Itu membuat saya semakin tidak terlalu peduli dengan masalah jodoh. Saya hanya percaya, jodoh itu urusan Allah dan saya sudah sepenuhnya menyerahkan kepada-Nya untuk diberikan yang terbaik.

Waktu Tak Pernah Berhenti

Tak terasa, waktu berlalu terasa begitu cepat. Bagi perempuan Indonesia, umur hampir kepala tiga, sudah pasti kenyang menghadapi pertanyaan-pertanyaan :
mana calonnya ?kapan menikah ?
kenapa milih-milih ?
nungguin apalagi ?
dan lain-lain, yang kalau didengarkan cukup membuat telinga panas.

Saya pun mengalami hal seperti ini. Keluarga saya memang tidak terlalu sering bertanya, tapi kerabat, keluarga besar, tetangga kiri-kanan, teman dan handai taulan. Wah, benar-benar membuat orang panik. Tapi untunglah saya ini cuek dan tidak terlalu peduli. Yang mau menikah kan saya, kenapa mereka ribut, sih? Begitu batin saya.

Namun jauh di dalam hati, saya tetap khawatir. Heran juga, kenapa jodoh saya belum datang. Padahal teman saya begitu banyak, yang dijodohkan dengan saya juga banyak, tapi belum juga ada yang pas di hati saya. Saya sampai bertanya-tanya, apa karena saya terlalu trauma dan sedikit tidak percaya pada ketulusan cinta lelaki? lalu tanpa sadar saya menutup diri dari cinta dan jodoh yang mungkin saja sudah menghampiri saya? Saya tidak tahu.

Mendengarkan kata-kata orang hanya membuat kita makin panik dan tidak lagi bisa berpikir jernih. Jadi saya tidak mau ambil pusing. Sudahlah, yang penting saya menjaga diri sebaik mungkin . Saya berusaha memperbaiki diri dan akhlak serta pengetahuan sebanyak mungkin. Hanya itulah pikiran saya.

Pertemuan Biasa

Setiap pulang ke rumah orang tua saya di akhir pekan, saya selalu mengikuti sholat jamaah di masjid dekat rumah. Begitu pula hari itu. Saya datang ke masjid seperti biasanya.

Saat hendak pulang, saya bertemu dengan lelaki yang sudah saya kenal saat kuliah. Kampus kami berdekatan dan saya pernah bertemu dia di salah satu kegiatan ekstra kampus. Perasaan saya saat itu biasa saja. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang terasa berbeda.


"Hai, kabarnya kamu sudah putus dari Kamal?" tanya Indra, sebut saja namanya begitu.
"Iya," jawab saya pelan.

"Aku juga baru putus, nih," kata Indra lagi.

Saya mengangguk, turut sedih mendengar keterangannya.


"Kamu mau nggak nikah sama aku?" tanya Indra kemudian, begitu saja.

Seolah menanyakan apakah saya mau diajaknya pergi makan saat itu. Saya, tanpa pikiran apa-apa, tersenyum dan menanggapi juga dengan ringan.


"Boleh"
"Boleh berarti mau?" tegas Indra.

"Iya"

Saya menjawabnya tanpa pikiran apa-apa, tidak ada keberatan atau pertimbangan-pertimbangan yang ribet. Semua berlalu begitu saja. Seorang teman perempuan saya mendekat dan mengajak ngobrol. Indra pergi menjauh, tapi masih ada di lingkungan masjid itu. Saya juga tak terlalu memperdulikannya.

Ketika kawan perempuan saya mengajak pulang, saya pun menurutinya. Namun adik Indra, Iin yang kebetulan juga ada di masjid itu mendekat. Iin menyerahkan satu kertas bagian dalam bungkus rokok yang dilipat kepada saya.

"Dari Mas Indra"

Saya menerimanya, menatap Indra yang ada di kejauhan dengan heran. Namun saya membacanya, "Larasati, kamu sungguh-sungguh? Kamu bikin hatiku kembang kempis tak menentu. Kalau beneran, aku akan temui orang tua kamu. Indra"

Saya langsung mengeluarkan bolpoin dari tas dan memberikan jawaban : "Indra, aku serius"

Saya menyerahkan kertas itu kembali pada Iin dan kemudian segera meninggalkan masjid bersama dengan kawan perempuan saya. Heran, tak mengerti bagaimana saya bisa mengatakan jawaban seringan itu.

Kemudahan-Kemudahan

Begitulah. Tanpa proses yang berbelit-belit, Indra benar-benar datang ke rumah orang tua saya untuk melamar. Istikharah yang saya lakukan tak memberikan pertanda atau mimpi apa-apa, tapi semuanya terasa ringan dan mudah.

Tujuh bulan sejak peristiwa itu, kami menikah.

Sungguh, jodoh itu benar-benar rahasia. Apa yang tidak dituliskan dalam takdir kita, tidak akan pernah terjadi. Namun apa yang sudah digariskan, termasuk jodoh, kalau waktunya telah tiba, semuanya laksana air hujan yang dicurahkan dari langit. Begitu mudah dan ringan dijalani.

Rahasia Allah

Beberapa tahun setelah pernikahan saya dengan Indra, saya sempat mendengar kabar dari salah satu teman Kamal, bahwa Kamal menikah lagi, poligami. Saat itu, saya menitikkan air mata. Betapa hanya Allah yang tahu apa yang terbaik buat kita. Saat itu, saya hanya berpikir, kalau misalnya saya menikah dengan Kamal, mungkin itu akan terjadi pula dengan saya. Sebagai muslim, saya harus menerima bahwa poligami adalah ketentuan yang diperbolehkan bagi agama dengan syarat-syarat. Tapi sebagai perempuan, alangkah berat hati saya untuk bisa menerimanya.

Akhirnya, saya hanya bisa bersyukur kepada Allah karena sudah memilihkan yang terbaik buat saya. Sungguh di balik setiap peristiwa, selalu ada hikmah yang jauh lebih berharga bila kita menjadi orang-orang yang sabar.

Kisah diambil dari Buku Jodoh Cinta - di bawah Judul Di Atas Kertas Rokok. Redaksi cerita aslinya dapat dibaca di buku tersebut.

Komentar

Postingan Populer